简体中文
繁體中文
English
Pусский
日本語
ภาษาไทย
Tiếng Việt
Bahasa Indonesia
Español
हिन्दी
Filippiiniläinen
Français
Deutsch
Português
Türkçe
한국어
العربية
Ikhtisar:Hak atas fotoGetty ImagesImage captionMUI Aceh sudah memperbolehkan vaksin MR, tapi sejumlah warga t
Hak atas fotoGetty ImagesImage caption
MUI Aceh sudah memperbolehkan vaksin MR, tapi sejumlah warga tetap saja berkukuh untuk tidak mengizinkan anaknya divaksin.
Capaian vaksinasi wajib nasional masih terhambat sejumlah faktor, di antaranya kekhawatiran kandungan vaksin yang tidak halal. Hal itu berpotensi menyebabkan Kasus Luar Biasa (KLB) campak dan difteri terulang di masa datang.
Data dan Informasi Profil Kesehatan Indonesia 2018 per Januari 2019, menunjukkan capaian imunisasi dasar bertengger di angka 81,99%.
Di Aceh dan Papua, capaian imunisasi dasar—yang mencakup vaksin DPT (Difteri, Pertusis, Tetanus), campak dan rubella (MR), serta polio—masih di bawah 50%.
Hak atas fotoGetty ImagesImage caption
Cakupan imunisasi yang rendah selama beberapa tahun di suatu daerah dapat menyebabkan Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I).
Di Nusa Tenggara Timur, Gorontalo, dan Kalimantan Tengah, jumlah anak yang divaksinasi juga terbilang rendah, yakni di angka 50-an%
Wabah virus campak melanda Manila, dua juta anak yang belum divaksinasi 'terancam'
Pemprov Aceh akhirnya bolehkan vaksinasi MR, meski mengandung enzim babi
Ombudsman Aceh desak gubernur memulai kembali vaksinasi campak dan rubella (MR)
Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Anung Sugihantono, menyebut cakupan imunisasi yang rendah selama beberapa tahun di suatu daerah dapat menyebabkan Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I).
“Tentu saja termasuk KLB campak maupun difteri,” ujar Anung dalam keterangan tertulisnya.
Di akhir tahun 2017, setidaknya 20 provinsi di Indonesia melaporkan KLB difteri, penyakit yang bertahun-tahun sebelumnya dinyatakan hilang sejak program imunisasi digalakkan di tahun 1990.
Tahun lalu, KLB campak juga terjadi di Papua dan Kalimantan Tengah.
Isu haram/halal di Aceh
Seorang ibu di Bireun, Aceh, Afli Zarni, mengatakan meski awalnya berniat memberi vaksin bagi anaknya yang berusia delapan bulan, ia mengurungkan niat karena “kata tetangga”.
“Karena dengar-dengar orang ngomong, ada yang bilang vaksin babi, haram. Kami bagaimana lagi? Terpaksalah (tidak divaksin),” kata Afli.
Saat dia kumpul-kumpul dengan tetangga, kata Afli, banyak yang mengimbaunya untuk tidak melakukan vaksinasi.
Hak atas fotoGetty ImagesImage caption
Di akhir tahun 2017, setidaknya 20 provinsi di Indonesia melaporkan KLB difteri, penyakit yang bertahun-tahun sebelumnya dinyatakan hilang sejak program imunisasi digalakkan di tahun 1990.
Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Aceh, Hanif, mengatakan berbagai langkah sudah dilakukan untuk meyakinkan warga tentang pentingnya vaksin, salah satunya dengan menggelar rapat koordinasi antara MUI Aceh dengan MUI Pusat.
MUI Aceh sudah memperbolehkan vaksin MR, kata Hanif, tapi sejumlah warga tetap saja berkukuh untuk tidak mengizinkan anaknya divaksin.
Hak atas fotoGetty Images
“Karena vaksin kita belum halal ya susah... Masyarakat tetap minta vaksin yang halal. Masyarakat tetap yang namanya akidah nomor 1, baru yang lain,” ujar Hanif.
Ia menyebut resistensi warga terhadap vaksin baru terjadi dua sampai tiga tahun belakangan saat polemik tentang kehalalan vaksin bergulir.
“Dulu masyarakat belum tahu vaksinnya terbuat dari babi atau nggak,” kata Hanif.
Keengganan warga Aceh pada vaksin berbanding lurus dengan angka kejadian (incident rate) suspek campak di Aceh yang tertinggi se-Indonesia.
Hak atas fotoDitjen P2P Kemenkes RI, 2019Image caption
Angka kejadian suspek campak 2018.
Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Anung Sugihantono, mengatakan Kemenkes bekerja sama dengan MUI untuk mengawal ketersediaan vaksin yang halal.
Pada tahun 2016, MUI mengeluarkan Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2016 mengenai Imunisasi dan pada tahun 2018 MUI mengeluarkan Fatwa MUI Nomor 33 Tahun 2018 mengenai Penggunaan Vaksin MR Produksi SII India Untuk Imunisasi.
Fatwa ini menyebut vaksin campak/rubela dibolehkan (mubah) karena ada kondisi keterpaksaan dan belum ditemukan vaksin yang halal.
“Kemenkes senantiasa mendorong produsen vaksin, terutama produsen vaksin lokal kita yaitu PT. Biofarma, untuk mengupayakan seoptimal mungkin ketersediaan vaksin yang halal dan suci tersebut.” ujar Anung.
Khawatir dampak vaksin
Selain itu, sejumlah masyarakat khawatir tentang efek samping vaksin.
Inka, seorang ibu rumah tangga di Kota Tengah, Gorontalo, mengatakan ia tidak melakukan vaksinasi terhadap anaknya yang berusia satu taun karena mewaspadai kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI), seperti demam tinggi, autisme, hingga kematian, seperti yang diceritakan kenalannya maupun yang dibacanya dari media sosial.
Sebelumnya, Inka mengaku membawa dua anaknya yang lain untuk imunisasi wajib.
Hak atas fotoGetty ImagesImage caption
Sejumlah masyarakat masih khawatir tentang efek samping vaksin.
Namun, gencarnya pro-kontra vaksin di tahun 2017-2018 membuatnya enggan membawa anaknya yang bungsu untuk divaksinasi.
Inka mengaku khawatir anaknya rentan terserang penyakit tertentu karena tidak divaksinasi. Maka, ia berujar telah mengubah gaya hidup keluarganya agar bisa lebih sehat.
“Saya sebagai orang tua anak-anak saya jaga, pola makanannya, saya kasih Asi, juga yang herbal-herbal,” ujarnya.
Hak atas fotoGetty ImagesImage caption
MUI mengeluarkan fatwa yang menyebut pemberian vaksin sebagai mubah.
Kepala Subdirektorat Imunisasi Kementerian Kesehatan, Ratna Budi Hapsari, menyebut gaya hidup sehat memang dapat membuat seseorang terhindar dari penyakit.
Namun, ujarnya, kondisi itu tidak akan membuatnya kebal terhadap penyakit tertentu, seperti campak atau difteri.
Ratna mengatakan kementerian kerap melakukan bantahan-bantahan terhadap isu soal vaksin yang tidak benar melalui saluran informasi yang dimilikinya.
Ia juga menegaskan kementerian telah melatih para petugas kesehatan untuk melayani warga sesuai prosedur.
“Kami berharap warga melihat fakta bahwa tenaga imunisasi itu tenaga profesional sehingga mereka yakin membawa anak imunisasi,” ujarnya.
Kondisi geografis menantang
Sementara, Yos Kupertino, pengelola program imunisasi Dinas Kesehatan Nusa Tenggara Timur (NTT), mengatakan salah satu tantangan capaian vaksinasi di daerahnya adalah kondisi geografi yang menantang.
Karakteristik NTT yang merupakan kepulauan, kata Yos, menyulitkan petugas untuk menjangkau anak-anak, apalagi kalau sedang ada angin besar, ujarnya.
“Kapal kan nggak berlayar. Contohnya, pernah tiga minggu nggak berlayar (karena faktor cuaca) otomatis pelayanan (kesehatan) kan tidak ada,” katanya.
Hak atas fotoGetty ImagesImage caption
Salah satu hambatan capaian vaksin adalah topografi alam yang menantang.
Masalah lain, kata Yos adalah penyediaan stok vaksinasi dari pemerintah pusat.
“Sekarang ini vaksin IPV (vaksin polio suntik) kami minta belum diberikan karena proses tender di pusat,” ujarnya.
Menanggapi hal itu, Kepala Subdirektorat Imunisasi, Ratna Budi Hapsari, menyebut kementerian melakukan program yang disebut Sustainability Outreach Service (SOS), untuk melayani warga di daerah terpencil dengan memperhatikan kondisi geografis suatu wilayah.
“Misalnya sebulan sekali atau dua minggu sekali (kami memberi layanan kesehatan), tapi komprehensif,” ujar Ratna.
Pentingnya kekebalan kelompok
Menurut Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Anung Sugihantono, jika di suatu daerah banyak yang tidak mendapatkan imunisasi, kekebalan kelompok (herd immunity) terhadap penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) tidak akan terbentuk.
“Sehingga masyarakat di daerah tersebut akan rentah terhadap penularan PD3I,” ujarnya.
Lebih lanjut, Ketua Satgas Imunisasi Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Cissy B. Kartasasmita, menyebut mobilitas masyarakat yang tinggi dapat mempermudah penyebaran penyakit di suatu daerah.
Hak atas fotoGetty ImagesImage caption
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyerukan capaian vaksinasi harus mencapai 95% demi tercapai kekebalan kelompok yang dapat memberikan perlindungan bagi mereka yang belum memiliki imunitas.
Sebagai contoh, ujarnya, ketika satu orang dari suatu kelompok masyarakat yang menolak vaksin pergi ke suatu tempat dan tertular campak, kemungkinan ia akan menyebarkan penyakit itu ke kelompoknya saat ia pulang.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyerukan capaian vaksinasi harus mencapai 95% demi tercapai kekebalan kelompok yang dapat memberikan perlindungan bagi mereka yang belum memiliki imunitas.
Meski begitu, Cissy menyebut, masyarakat harus berkontribusi pada kekebalan kelompok.
“(Terkait) kekebalan kelompok, kita berusaha untuk melindungi diri sendiri dan lingkungan. Jangan (berpikir) 'Ah orang lain saja yang divaksin, saya ikut kekebalan kelompok.' Itu nggak bisa,” tandasnya.
Disclaimer:
Pandangan dalam artikel ini hanya mewakili pandangan pribadi penulis dan bukan merupakan saran investasi untuk platform ini. Platform ini tidak menjamin keakuratan, kelengkapan dan ketepatan waktu informasi artikel, juga tidak bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh penggunaan atau kepercayaan informasi artikel.